[CERPEN] Perasaan Yang Tertutupi
Apa yang sedang Jihan rasakan, kini menjadi pertanyaan besar bagi kedua gadis yang sedang berbaring di ranjang kamar kosan. Mereka sedang berdiskusi tentang apa yang dirasakan Jihan. Bagaimana Seorang Jihan bisa merasakan degupan kencang yang tak biasa, lalu tentang kebingungannya sendiri yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Maya yang menjadi tempat curhat, terkekeh karena mendengarkan curhatan temannya itu. Sebab ia juga menjadi ikutan bingung dengan perasaan asing yang tidak diketahui Jihan. Dan bertambah pusing karena pendapatnya selalu dibantah. Padahal Maya sangat yakin jika perasaan asing yang di rasakan teman sekamarnya itu adalah perasaan suka.
"Mana ada! Nggak lah! Masa aku suka sama dia!" Jihan membantah lagi. Gadis itu mulai sibuk membalas chat dari seseorang yang menjadi tokoh utama dalam topik diskusi. Bahkan dia berkali-kali menghapus lalu kembali mengetik, lalu menghapus lagi sembari berdecak sendiri.
"May, bantuin dulu lah, ini gimana balasnya?"
Maya menghela nafas. Dia pun sebenarnya sama, tak berpengalaman dalam hal asmara. Namun tetap saja dia menggeser tubuhnya, meninggalkan grub chat teman-temannya demi membantu Jihan yang tengah kebingungan dengan perasaannya sendiri.
"Kamu tuh aneh, dia lagi online, tapi dari tadi ngetik nggak selesai selesai, dia lihat lah pasti," ujar Maya kemudian.
"Terus gimana?"
"Matiin dulu datanya."
Jihan hanya bisa menuruti apa yang dikatakan temannya itu. Perasaan bingung membuatnya tak bisa berpikir dengan jernih. Lalu karena tak tau harus bagaimana lagi, jadi Jihan menyerahkan ponselnya kepada Maya untuk membalas percakapan.
Tiba-tiba kepalanya pening, sehingga Jihan pun menekan dahinya sembari menatap langit-langit putih kamar kost nya. Dan tanpa dikomando pikirannya jadi menerawang jauh.
"Jadian yuk?" Obrolan malam lewat video call melintas begitu saja. Wajah laki-laki di layar ketika itu menyiratkan keseriusan tengah menunggu respon Jihan.
"Haha jadian? jangan becanda dong, nggak lucu!"
"Siapa yang becanda? seriusan ini, ayo kita jadian terus pacaran."
Jihan tak merespon secara langsung akibat detakan jantungnya berpacu lebih cepat. Dia menatap raut wajah serius laki-laki di layar. Hingga detik demi detik berlalu membuat Jihan segera ingin mematikan sambungan video call.
Namun karena Jihan adalah tipikal orang yang menganggap banyak hal hanya candaan semata, tanpa sadar melontarkan kalimat yang membuatnya kian was was dan tak bisa tenang setelahnya.
"Saya mah nggak suka di tanya begitu lewat telepon, harus secara langsung."
"Oh gitu, jadi kapan kita bisa ketemu?"
"HWWAAAA!!" Bagai orang yang tengah kesurupan, Jihan menendang-nendangkan kakinya.
"Apa sih!" Maya pun memukul temannya itu dengan bantal guling yang ada di sampingnya.
Dia berusaha mengabaikan Jihan dan kembali melanjutkan ketikannya yang tertunda. Lalu setelah membaca ulang dan yakin tak ada kata-kata yang salah, Maya pun menekan tombol panah hijau dan otomatis centang dua biru.
"Aku harus gimana May, kalau dia ngajakin ketemu? Sumpah aku tuh nggak seriusan bilang gitu." Jihan mengeluh setelah berhenti menendang-nendang.
"Ada pepatah yang bilang, mulut mu adalah harimau mu, makanya ati-ati kalau ngomong, tau rasa kan?" sahut Maya. Dia kemudian memberikan ponsel kepada pemiliknya karena tak kunjung mendapat balasan.
"May, aku tuh butuh solusi, bukan dikatain!"
"Ya kamu ngeselin juga, dari tadi aku bilang kamu nggak percaya, ngebantah mulu." Maya jadi ikutan kesal.
"Ya gimana, kamu selalu bilang kalau dia itu beneran suka sama ak--"
"Emang woi!" Maya berseru ngegas. "Bayangin, nggak ada cowok yang niat awalnya main-main betah nungguin kamu gitu aja yang nggak jelas, kalau emang dia mau main-main mending cari yang lain, bukan nunggu lama cewek yang nggak pasti, buang-buang waktu aja."
Jihan jadi terdiam, mencerna kalimat teman satu kamarnya itu. Menimbang-nimbang dengan akal sehat bahwa perkataan Maya ada benarnya juga. Namun secepat kilat pikiran negatifnya kembali menolak kebenaran itu.
"Semua cowok kan sama, emang kerjaannya gitu kan? Merasa tertantang pas bisa dapetin terus bosen, dan tinggalin gitu aja."
Maya menghela nafas dengan sangat dramatis, dia tidak tau bagaimana lagi untuk meyakinkan temannya itu. Segala cara sudah dia lakukan untuk membuka pikiran Jihan, bahwa kakak tingkat itu memang suka dengannya. Namun Jihan tetap bersikukuh dan menolak fakta tersebut.
"Aku tuh sama dia pingin temenan aja, gimana kalau nanti ketemu? Terus nanti dia bahas soal ini, mana aku nggak tau jawabnya gimana ..."
"Tinggal kamu bilang mau temenan aja, gitu aja repot." Maya berkata cuek. Mengingat sesuatu ia pun lantas berkata. "Btw, Kak Vian mau ngajakin ketemu, dan aku balas iya."
"MAYA!! IH .. kamu ini!"
Jihan terlihat amat kesal. Bahkan Maya menjadi sasaran kekesalannya. Ia memukul temannya itu dengan bantal. Melampiaskan kejengkelannya terhadap temannya yang seenaknya memutuskan sesuatu yang sangat penting. Dia berhenti kala mendengar bunyi notifikasi ponselnya.
Ternyata pesan tersebut dari Vian, kakak tingkat yang di duga Maya menyukainya. Namun yang membuat Jihan semakin kelabakan karena pesan tersebut berisi lokasi pertemuan beserta waktunya. Jihan menjadi frustasi. Dia melemparkan ponselnya dan menutup wajahnya dengan bantal, menyumpah serapah.
"Tanggung jawab nggak, May!" Jihan kembali menatap temannya itu.
"Kamu maunya gimana?" tanya Maya berekspresi jengah. Ia terganggu dengan ketidak jelasan teman sekamarnya itu. "Mau nolak?"
Lagi, Maya bertanya. Dia kemudian mengambil ponsel milik Jihan dan bersiap menuliskan kata maaf dan penolakan untuk mewakili Jihan. Akan tetapi belum selesai dia menuliskan sebuah kalimat yang utuh, namun Jihan sudah merebut ponsel di tangannya. Tentu saja Maya semakin kesal.
"Maunya gimana sih? Astaga, bikin pusing aja kamu, Han."
Jihan tak membalas. Dia terdiam dan Maya pun ikut diam. Lama suasana tersebut terjadi hingga Maya mulai fokus kembali dengan obrolan grub teman-teman kuliahnya.
Menurutnya Jihan hanya takut akan pengalaman dahulu kala terjadi lagi. Karena pernah memiliki pengalaman di khianati seorang laki-laki membuat kepercayaannya kepada laki-laki menurun. Jihan mulai menganggap semua laki-laki itu sama. Sama seperti halnya laki-laki yang dulu ia temui. Padahal bagi Maya, tak semua laki-laki sama. Namun yang membuat Maya frustasi tentu saja menyadarkan Jihan jika dirinya itu menolak perasaannya sendiri.
Sebab bukan hanya kakak tingkat itu saja yang menyukai Jihan. Karena Maya hampir setiap malam mendengar curhatan Jihan, bagaimana Jihan bertemu dengan Vian, dikenalkan dengan teman-teman Vian, diajak makan di kantin, pernah ibadah bersama. Dan bahkan Maya juga mendengar keluh kesah Jihan ketika bertemu dengan seorang wanita yang digosipkan dengan Vian.
"Kak Maura cantik banget loh May, pantes gitu kalau sama Kak Vian, iya kan?"
"Tapi mereka kan nggak pacaran?"
"Pacaran lah, keliatan kok."
"Tau dari mana kamu? Halah bilang aja cemburu."
"Dih, apasih! Cemburu apa!"
Menurut Maya temannya itu tidak jujur dengan apa yang dirasakannya. Perasaanya tertutupi dengan sangkalan dan juga penolakan.
"May, aku tuh nggak suka sama Kak Vian," kata Jihan tiba-tiba setelah lama mereka terdiam.
Maya tampak menghela nafas. "Beneran?"
"Iya."
"Kalau begitu waktu kalian ketemu, bilang aja kalau kamu nggak suka sama Kak Vian, biar dia nggak ngejar-ngejar lagi."
Jihan langsung menoleh. Beberapa detik dia menatap Maya sebelum beralih. "Nggak semudah itu."
"Nggak semudah itu gimana? Gini deh." Maya memposisikan duduknya untuk berhadapan dengan temannya itu. Ia kembali menarik nafasnya dan membuangnya dengan kasar. Menghadapi ketidak jelasan Jihan ternyata membuat emosi naik turun secara signifikan. "Sekarang kamu maunya gimana? Tadi aku mau bales chat dari Kak Vian tapi kamu rebut hp nya, terus aku kasih solusi buat kamu bilang nggak suka malah bilangnya nggak semudah itu. Dan aku bilang kalau Kak Vian beneran suka, kamu bantah terus. Kalau kayak gini aku jadi ragu kalau kamu nggak punya perasaan suka sama Kak Vian, Han."
"Aku memang nggak suka sama dia May, tapi aku nggak tau nolaknya gimana, nggak enak aku ..."
Menarik nafas dan hembuskan pelan-pelan. Maya langsung berbaring dan menutup tubuhnya dengan selimut. Sesi curhat selesai. Lagipula percuma dia berusaha mencari solusi, akan tetapi Jihan sudah menutup hati dan pikirannya.
"May, kok tidur sih. Ini bantu dulu lah ..."
"BODO AMAT! Waktunya tidur. Semoga besok dengar kabar kalau Kak Maurin jadian sama Kak Vian."
"May!"
-SELESAI-
09/10/19
Jujur itu bikin lega selagi nggak bertepuk sebelah tangan :)