[CERPEN] Cita-cita
By : Diyanti
Dimas namanya, seorang anak yang berumur 10 tahun, memiliki empat orang kakak dan dibesarkan oleh kedua orang tua dengan keadaan yang sederhana. Ayahnya bekerja sebagai buruh bangunan, sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga yang mengurusi kelima anaknya.
Dengan keadaan ekonomi yang kurang mampu ayahnya tetap bertekat untuk menyekolahkan semua anaknya, minimal bisa lulus SMA.
Dimas sendiri masih duduk di kelas lima SD, kakak pertama dan keduanya sudah bekerja di pabrik, sedangkan kakak ketiganya duduk di bangku SMA sebentar lagi lulus, lalu kakak keempatnya masih kelas delapan SMP.
Sejak kecil, Dimas diajarkan untuk berhemat, rajin belajar supaya lulus dengan nilai yang memuaskan dan mendapatkan pekerjaan lumayan layak seperti kedua kakaknya. Setidaknya kedua kakaknya bekerja di pabrik bukan buruh bangunan seperti ayahnya. Sehingga bisa membantu perekonomian keluarga.
Namun Dimas agak berbeda dengan keempat saudaranya. Pada usia dua tahun saja ia sudah bisa berbicara lancar. Pada usia empat tahun sudah banyak kosakata yang Dimas pahami. Dan ketika baru sekolah di kelas satu SD, Dimas sudah bisa membaca tanpa mengeja.
Dimas memang anak yang pintar, dia cepat memahami apa yang diajarkan oleh guru, orang tua, saudara-saudaranya, teman-teman maupun orang-orang di lingkungan sekitar. Sering kali ia bertanya apapun yang belum ia pahami. Contohnya ketika Dimas berumur lima tahun, ia bertanya setelah melihat ayahnya menyelesaikan sholat.
“Tuhan itu seperti apa? Apa waktu sholat, Ayah lihat Tuhan?”
Mendapatkan pertanyaan demikian, sang Ayah pun kelimpungan menjawab. Ibunya juga takut menjawab, takut salah, sedangkan keempat saudaranya juga tidak tau jawaban yang tepat. Pada akhirnya Ayah mengajak Dimas untuk bertemu dengan guru ngaji yang berjarak beberapa meter dari rumah mereka.
Beruntung sang guru ngaji bisa menjawab pertanyaan bocah lima tahun tersebut, walau Dimas terus-terusan bertanya yang belum ia pahami. Sejak itulah Dimas mulai belajar mengaji. Dia belajar huruf Arab dan cara membacanya jika di sambung-sambungkan. Dimas juga belajar tata cara sholat, doa-doa dan pengetahuan lainnya tentang agama.
Selain agama, Dimas pun belajar ilmu umum di sekolah. Ia belajar matematika, belajar sejarah Indonesia dan belajar ilmu pengetahuan lainnya. Dan dari sekolah itulah Dimas tau tentang cita-cita.
Waktu itu Dimas masih kelas satu, harus maju satu persatu untuk memperkenalkan diri. Tiba giliran Dimas, ia pun maju ke depan dan menghadap teman-temannya. Seragam yang ia kenakan tidak baru seperti teman-temannya, ia hanya memakai seragam SD milik kakak keempatnya yang menurut Ibu masih bagus dipakai.
Kemudian Bu Guru mempersilahkan Dimas memulai perkenalan. Ketika itu, Dimas merasa senang sekali bersekolah, jadi ia tidak takut maupun malu untuk maju ke depan dan memperkenalkan diri.
“Dimas, cita-citanya mau jadi apa?” tanya Bu Guru setelah Dimas menyelesaikan cerita mengenai kakak-kakaknya.
“Cita-cita itu apa Bu Guru?” tanya balik Dimas dengan bingung.
Bu Guru kemudian menjelaskan, cita-cita adalah impian. Impian bukan mimpi saat tidur, namun impian kerja jadi apa saat dewasa. Itulah yang Dimas pahami saat itu. Dan karena itulah Dimas diam tidak menjawab.
“Jadi Dimas cita-citanya jadi apa?” tanya ulang Bu Guru. “Mau jadi dokter, guru, polisi, tentara atau yang lainnya?”
Dimas tetap diam. Ayahnya bekerja sebagai buruh bangunan, berarti cita-cita Ayahnya waktu kecil adalah menjadi buruh, lalu Ibunya tidak bekerja, berarti Ibu tidak mempunyai cita-cita. Tapi teman-teman yang lain banyak yang menjawab ingin menjadi dokter, berarti nanti ketika besar teman-temannya banyak yang menjadi dokter, berarti dokter jadi banyak sekali.
“Dimas?” panggil Bu Guru.
Dimas pun langsung menggelengkan kepalanya, dia menatap gurunya dengan bingung. “Aku cita-citanya nggak tau jadi apa, Bu Guru. Aku nggak mau jadi ayah kerjanya buruh bangunan, aku juga nggak mau seperti ibu yang nggak kerja, aku juga nggak mau jadi dokter, teman-teman banyak yang ingin jadi dokter.”
“Kalau menjadi guru?” tanya Bu Guru memberi opsi kepada Dimas. “Guru tugasnya mengajar, nah karena ada guru lah jadi ada dokter, tentara, polisi.” Bu Guru tetap menjelaskan pelan-pelan.
“Bu guru dulu kecilnya cita-citanya jadi guru?” Dimas malah balik bertanya. “Memang kalau aku bilang cita-citanya jadi guru, nanti besarnya pasti jadi guru ya Bu Guru?”
Bu Guru saat itu langsung paham, jika Dimas merupakan anak yang cerdas. Ia pun memberi penjelasan dengan pelan-pelan dan dengan kata-kata yang mudah dipahami. Bahwasannya cita-cita adalah impian yang ingin diraih. Ingin berarti belum pasti namun diusahakan untuk diwujudkan. Jadi belum tentu Ayahnya dulu bercita-cita menjadi buruh bangunan. Sedangkan Bu Guru bilang jika cita-citanya saat kecil adalah menjadi guru, namun Bu Guru memberitau bahwa ketika besar atau dewasa banyak sekali masalah atau rintangan yang menghadang untuk mewujudkan cita-cita. Rintangan yang menghadang, contohnya tidak punya uang, berhenti sekolah dan banyak lagi. Bu Guru bilang bahwa Dimas akan memahaminya nanti, jadi Dimas tidak banyak bertanya walau kurang paham pada saat itu. Bu Guru bilang kalau dia akan memahaminya nanti. Nanti berarti Dimas pasti akan memahaminya.
Dan sekarang Dimas sudah berusia 10 tahun. Ia sudah lebih banyak mempelajari suatu hal. Misalkan tentang agama, Dimas sudah lancar mengaji dan pernah khatam sekali. Dia juga semakin tau apa itu pahala dan dosa. Sedangkan di sekolah, Dimas menjadi siswa terpintar di kelasnya. Ia selalu menduduki peringkat pertama mengungguli teman-temannya yang lain.
Selain itu Dimas juga mulai paham tentang cita-cita. Ia bertekat ingin menjadi orang yang sukses, entah dalam pekerjaan apa Dimas belum bisa menentukan. Orang yang sukses berarti harus bisa sekolah dan banyak belajar.
Lalu Dimas juga mulai memahami mengenai masalah dan rintangan yang menghadang seperti yang dikatakan Bu Guru beberapa tahun yang lalu. Pengalaman dan keadaan menghantarkan Dimas untuk tau masalah atau rintangan yang menghadang.
“Keadaan sekarang semakin sulit, Ayah sudah tidak bekerja lagi sedangkan Santi sudah di pecat, tinggal Bima yang diandalkan, gimana kita bisa bayar uang sekolah Deni, Evi sama Dimas?” Ibu mengeluh di ruang tamu, di depan sang Ayah yang tampak frustasi dengan keadaan yang semakin sulit.
Mereka berpikir jika anak-anaknya sudah tertidur, namun nyatanya Dimas sedang berdiri di balik tembok, awalnya tidak sengaja mendengar pembicaraan kedua orang tuanya.
“Nanti pasti bisa melunasi uang sekolah anak-anak.” Ayah berkata. Cara untuk menghibur diri dari himpitan kesusahan, selalu percaya bahwa hari esok akan baik-baik saja.
“Uang dari mana?” Ibu bertanya frustasi.
Dimas terdiam di tempatnya. Apakah dia akan putus sekolah dan tidak bisa mewujudkan cita-citanya yang ingin menjadi orang sukses? Anak usia 10 tahun itu termenung di tempatnya berdiri. Ibu sedang menangis, terisak pilu. Ayah memegang kepalanya terasa pusing. Lalu Dimas?
Anak itu sedang berpikir keras untuk mengorek kembali ingatan tentang ucapan guru ngajinya.
“Tuhan akan selalu menolong hamba-Nya yang sedang kesusahan.”
Benar. Itulah yang diperlukan Dimas sekarang, yaitu berkeluh kesah kepada Tuhan. Pasti Tuhan akan mendengar dan akan segera menolong keadaan pelik yang menimpa mereka.
[Tamat]
Waaah, cerpennya sangat related sekali. Aku punya banyak teman semasa sekolah dulu, yg ekonomi orang tua nya pas-pasan. Tapi anaknya selalu dapat juara kelas.
Jadi sedih yaa, boleh jd cerita iti beneran terjadi, banyak anak yg putus sekolah tersebab ekonomi orangtua nya
Ya ironinya begitu mas, disebabkan ekonomi keluarganya yang kurang mampu anak anak yang harusnya bisa sekolah jadi nggak bisa sekolah. Padahal harusnya anak anak bisa sekolah minimal sampai SMA supaya mereka bisa berpikiran lebih luas untuk mengubah garis kemiskinan keluarganya
Cerpen yang bikin ku terbayang masa lalu, aku juga putus sekolah karena orang tua tidak ada biaya, untuk makan saja susah. Tapi setidaknya aku lulus SD sih biarpun tidak lulus SMP.😅
Tapi bedanya dengan Dimas, kalo Dimas anak pandai di kelasnya, kalo saya Hanya biasa saja.😂
Wah baru tau nih... tapi sekarang Mas Agus jadi salah satu blogger dengan tulisannya yang khas😊
Sebenernya kan sekolah gak menjamin untuk cerdas, nggak papa lulusan sekolah SD atau SMP, kalau berpikiran luas dan mau belajar pasti bisa sukses ya kan Mas Agus?😁