[CERPEN] Surat dari Alan
Ada kalimat yang menyebutkan bahwa akan ada pertemuan saat perpisahan. Ingin mempercayainya lagi tetapi waktu 2 tahun yang sudah terlewati ini melenyapkan semuanya. Termasuk kepercayaan kalimat yang diucapkan oleh seseorang disana. Tanpa ada kabar, tanpa ada pesan singkat, waktu 1 tahun menunggu terasa menyakitkan. Seharusnya aku tidak mempercayai kalimat bualan itu, seharusnya aku bisa berpikir rasional dengan tidak menunggu kabar dari orang itu. Seharusnya dan seharusnya, nyatanya bagaikan orang yang kehilangan semangat hidup, menunggu kabar dari orang yang mungkin telah melupakan kenangan dimasa lalu.
"Masih nunggu kabar dari Alan?"
pertanyaan itu membuat ku tersadar dari lamunan tentang masa lalu. Kenangan indah bersama teman yang merangkap sebagai orang yang aku sukai.
Aku menolehkan kepala. Laki-laki berperawakan tinggi dan berkacamata mengambil duduk disebelah ku. Dia meletakkan tasnya ke meja dan mendesah lelah.
"Gimana nggak nunggu, dia buat aku selalu khawatir."
"Dia pasti baik-baik saja."
"Kamu tau darimana? Emang dia ngasih kabar ke kamu?" kata ku sinis. Seharusnya nada bicara ku tidak seperti itu. Tapi Andra selalu membuat ku sebal. Dia selalu mengatakan bahwa Alan baik-baik saja. Memang aku sangat menginginkan kabar itu, tetapi teman sekelas sekaligus tetangga ku itu selalu sok tau mengatakan kabar tersebut. Nyatanya Alan tidak pernah memberi kabar ke siapapun.
"Ya kamu yakin aja," sahutnya kalem.
Itu adalah gayanya.
Aku berdecih, membuang muka, lebih baik memperhatikan mahasiswa-mahasiswi yang berlalu-lalang. Andra entah kenapa, selalu saja ada dimana-mana. Dia memang teman ku sejak kecil. Kami bertiga bersama Alan adalah tetangga dan sering bermain bersama-sama. Tetapi semenjak kepindahan Alan satu tahun yang lalu, aku merasa risih dengan keberadaan Andra yang selalu datang tiba-tiba, bahkan aku merasa terganggu.
"Kamu udah makan siang belum? Apa masih ada jam lagi?" nada suara Andra sangat lembut dan penuh perhatian. Tetapi entah kenapa, aku kurang suka.
Akupun bangun dari bangku, menarik tas dan akan segera pergi, tetapi Andra dengan sigap menahan lengan ku, bahkan sebelum aku berhasil menarik tas ku.
"Kamu nggak suka, karena aku tiba-tiba datang?" tanyanya bernada kalem dan menyorot ke mataku. Dia pun bangun dari duduknya, masih menggenggam lengan ku. "Ya udah aku pergi dulu, ada jam kuliah lagi, kamu jangan telat makan."
Andra pergi setelah mengatakan itu. Yang aku hanya bisa lakukan adalah menatap punggungnya dan kembali duduk. Kenyataannya aku memang merasa 'nggak suka' seperti apa yang disebutkan Andra.
***
Menunggu selama 1 tahun tanpa ada kabar sedikit pun, rasanya ingin mengamuk sekaligus menangis. Selalu menduga-duga tentang apa yang dilakukkannya disana, dia sedang apa, apakah kabarnya baik atau tidak.
Sekarang, aku sedang membuka percakapan massager yang terakhir dengan Alan sebelum dia menghilang tanpa memberikan kabar lagi.
Naya : Alan! Aku diterima di univ cendekia.... Aku seneng banget! Nggak nyangka..
Alan : Wahh keren kamu Nay, aku tau kamu bisa
Naya : Iya, aku belajar mati matian tau. Kamu gimana? Diterima di univ apa?
Alan : Aku kayaknya mau istirahat dulu Nay, lanjutnya nanti
Naya : Kok berhenti?
Alan : Kan mau istirahat dulu, aku mengasihi otak ku Nay, dia pasti kecapean selama dua belas tahun mempelajari semua pelajaran sekolah
Naya : Terus selama istirahat, kamu ngapain?
Alan : Tidur, haha
Naya : Ih.. Becanda mulu! Beneran Al!
Alan : Andra gimana?
Naya : Dia masuk juga, ngambil jurusan sama kayak aku
Alan : Nay..
Naya : Apa Alan?
Alan : Kamu percaya nggak kalau akan ada pertemuan saat perpisahan?
Naya : Bukannya, ada pertemuan maka ada perpisahan
Alan : Ya udah dibalik aja
Naya : Haha
Alan : Jadi percaya nggak?
Naya : Aku sih percaya percaya aja
Alan : Kamu memang harus percaya
Naya : Kenapa harus?
Alan : Ya kamu harus percaya kalau kita bisa ketemu lagi
Naya : Kapan?
Alan : Nggak tau juga, tapi kamu harus percaya ya?
Alan : Nay.. Kok nggak bales?
Naya : Maaf tadi ke toilet sebentar
Alan : Ohhh.. Aku cuman mau bilang Nay, kamu jadi wanita baik baik ya, ibadah yang rajin, kuliah yang rajin
Naya : Kok kamu kayak ibu?
Alan : Kan aku perhatian, mengingatkan untuk berbuat baik
Naya : Oke iya, nggak diingetin juga aku bakal ngelakuin itu
Alan : Nay..
Naya : Apa Alan? Dari tadi kamu manggilin aja
Alan : Hehe.... I love you
Seminggu aku tidak membalas massager terakhir Alan. Aku merasa kaget dan tidak tau apa yang harus ku lakukan. Perasaan senang tentu saja, karena sejak dulu, itulah yang ingin aku dengar dari Alan. Pernyataan cinta, walau hanya lewat pesan singkat mampu membuat ku tidak bisa tidur nyenyak. Tapi, itu benar-benar pesan terakhir Alan. Aku sangat menyesali karena membalas dengan terlambat, pesan-pesan yang aku kirimkan ke Alan pun tidak mendapatkan tanggapan. Entah berpuluh-puluh pesan tapi tak ada yang dibaca.
"Nay, kamu nggak mau masuk? Udaranya dingin."
Suara itu mengagetkan ku yang sedang duduk di kursi taman rumah. Sejak kapan Andra ada disini?
"Kamu ngapain?" tanya ku heran. Andra memakai celana levis pendek dengan kaos panjang longgar. Dia sepertinya sehabis masuk rumah.
"Ketemu sama om dan tante," katanya, dia kemudian mengambil duduk disebelah ku dan sedikit melirik ke arah layar laptop yang menyala. "Dari aku datang sampe mau pulang, kamu masih aja duduk disini, aku pikir kamu lagi ngerjain tugas."
Tidak ada tanggapan dari perkataan Andra, karena memang aku tidak tau harus menanggapi seperti apa. Yang ada hanya kesunyian melanda diiringi hembusan angin malam. Tadi aku tidak merasakan kedinginan, tapi entah kenapa sekarang rasanya sangat dingin membuat ku tanpa sadar menggigil.
"Kamu udah kedinginan, masuk aja kedalam Nay."
Aku mengangguk. Saat baru melangkah sambil memapah laptop, perkataan Andra menghentikan semuanya.
"Jangan terlalu memikirkan Alan lagi, dia baik-baik aja."
Perkataan itu lagi. Andra seolah tau tentang Alan, dan itu membuat ku jengah. Aku menoleh langsung. "Kamu selalu bilang kayak gitu, sebenernya kamu tau tentang Alan kan?"
"Alan baik-baik saja Naya, kamu jangan terlalu memikirkannya."
"Kamu selalu sok tau Andra! Bilang Alan baik-baik saja, apa kamu pernah komunikasi dengan Alan? Nggak pernah kan!"
"Alan baik-baik saja disana."
Cukup! Aku sangat jengah dengan sikap Andra. Dia seperti terlihat mengetahui tapi tidak memberitaukan pada ku.
"Sebenernya kamu tau kan tentang Alan? Jawab aku Andra!" kata ku mendesak saat Andra hanya diam.
Andra memang tau segalanya tentang Alan, itu yang aku simpulkan. Sebenarnya apa yang dia sembunyikan dari ku, dan hanya mengatakan bahwa Alan baik-baik saja.
"Aku lolos seleksi pertukaran pelajar."
"Bukan itu yang ingin aku dengar. Kamu tau kan tentang Alan?"
Andra menghela nafas berat. Lalu menyorot mata ku dengan sorotan yang jarang sekali aku lihat. Terluka.
"Kamu memang tidak pernah peduli dengan ku Nay, yang ada di dalam pikiran mu hanya Alan."
"Jangan mengalihkan pembicaraan, aku tanya sama kam--"
"Alan pindah ke Singapura 2 tahun yang lalu, dia meninggalkan kita di Jakarta, itu kenyataannya," sela Andra.
"Kamu tau lebih dari itu!"
"Aku memang tau lebih dari itu," gumam Andra dan sangat cepat beralih sebelum aku menyela. "Sudah malam, sebaiknya kamu masuk, aku juga mau mempersiapkan keberangkatan ku ke Belanda."
Andra menjauh, berjalan keluar gerbang, meninggalkan ku yang ingin bertanya tentang banyak hal, seputar Alan.
***
Aku memang lebih dekat dengan Alan daripada dengan Andra. Sejak kecil Alan lah yang selalu menjadi pangeran penolong. Ketika saat Andra membuat ku menangis karena menyembunyikan boneka kesayangan ku, Alan lah yang mencarikan boneka itu. Saat Andra menjahili ku hingga menangis, Alan lah yang menenangkan ku. Jujur, aku lebih baik Andra bersikap seperti dulu, yang selalu membuat ku kesal. Bukan seperti saat ini, seolah dia ingin menggantikan Alan dalam hidup ku.
"Aku tau kamu benci sama aku, mau seberusaha apa aku berubah, kamu pasti nggak suka."
Aku diam saja. Seperti biasa, Andra menghampiri ku di salah satu bangku taman kampus. Kali ini penampilannya lebih rapih dari biasanya.
"Tenang aja, hari ini aku mau berangkat ke Belanda," katanya lagi dan berhasil membuat ku mendongak.
Dia tersenyum, getir. Lalu Andra merogoh kedalam tasnya. "Kamu pingin tau tentang Alan kan? Ini."
Andra menyodorkan sebuah amplop yang tertulis nama lengkap Alan. Secara reflek aku mengambilnya dengan cepat.
Rasanya sangat menyesakkan, melihat tulisan tangan seseorang yang sangat aku sukai kini terpampang jelas di mataku. Disini pasti tertulis tentang Alan yang tidak aku tau.
"Dan ini juga." Andra memberikan sebuah buku kecil, seperti diary. Aku langsung menerimanya, sedikit membolak balik karena tak ada nama Alan, melainkan Andra.
"Ini maksudnya?"
"Itu buku diary ku, kamu bisa baca kalau ada waktu luang, kalau kamu nggak mau baca ya buang aja." Andra berkata santai, menatap ku lama tanpa mengeluarkan suara. "Aku pamit ya Nay, jaga kesehatan mu, baik-baik disini, aku berharap setelah baca surat dari Alan, kamu nggak jadi mikirin dia lagi." Andra berbicara dengan nada lirih. Batin ku bergejolak, walau bagaimana pun aku sudah bersama Andra sejak kecil.
"Ya udah kalau gitu, aku pergi." Andra beranjak dari duduknya. Aku seharusnya mengucapkan kata-kata perpisahan atau sekedar salaman untuk yang terakhir kalinya. Tapi aku tidak bisa. Hanya untuk menggerakkan bibir pun terasa sulit. Hingga Andra menghilang, aku masih tidak bisa berkata apapun. Kenyataannya hubungan ku dengan Andra sudah terlalu canggung.
***
Untuk Naya yang cantik..
Halo Nay, apa kabar? ini Alan, sahabat mu yang mengungkapkan i love you di massager, tapi kamu malah nggak jawab. Sebenarnya aku memang nggak mengharapkan balasan dari kamu, alasannya karena aku sudah cukup lega mengucapkan itu. Rasanya memang lega Nay. Seenggaknya nanti aku bisa tenang.
Kamu tau nggak, kenapa aku pindah ke Singapura?
Aku yakin sih kamu belum tau, pasti Andra menyimpannya dengan rapat-rapat. Andra memang sahabat yang bisa diandalkan, walaupun aku tau dia kesusahan.
Alasan aku pindah ke Singapura karena aku harus menjalani pengobatan rutin. Pasti kamu nggak tau kalau aku sakit? aku memang merahasiakan sakit ku ke beberapa orang termasuk kamu, alasannya karena aku nggak mau lihat kamu sedih. Cukup kamu tau aku ketawa dan bisa melindungi mu saja, daripada kamu tau betapa menyakitkannya menjalani serangkaian pengobatan dan merasakan sakitnya saat kambuh. Aku nggak mau kamu sedih, karena itulah aku merahasiakannya dari kamu.
Emm... sebenarnya aku nggak mau nulis di surat ini dengan hal sedih-sedih, tapi aku meminta Andra janji untuk memberikan surat ini ketika aku udah nggak mampu lagi. Aku minta Andra buat ngasih surat ini waktu aku sudah berada di alam yang berbeda. Saat aku nulis ini, aku berharap kamu nggak menerima surat ini, tapi kalau kamu sudah baca surat ini berarti aku sudah berada di alam yang berbeda dengan kalian. Jangan nangis ya Nay, do'akan aku supaya aku bisa menikmati surganya Tuhan.
Pasti disana indah kan? aku nggak merasakan sakit lagi?
Tapi aku sedih kita nggak bisa kumpul lagi. Mungkin kamu masih ingat tentang yang aku bilang akan ada pertemuan saat perpisahan. Aku suruh kamu percaya, sekarang jangan percaya ya. Benar kata kamu ada pertemuan maka ada perpisahan, kayak aku sama kamu sekarang, sama Andra juga.
Ngomong-ngomong tentang Andra, kamu tau nggak sih, sahabat kita ini berubah jadi orang yang dewasa. Andra yang jahil dan suka buat masalah sekarang jadi Andra yang baik. Aku senang dengarnya. Dan kamu tau nggak Nay, Andra pernah nangis waktu aku video call. Dia bilang aku harus sembuh, rasanya waktu itu campur aduk Nay. Aku pingin ketawa karena lihat Andra nangis tapi aku juga terharu.
Kayaknya sampai sini aja deh aku nulisnya, sudah kepanjangan Nay, susah juga nulis dengan tangan gemetar.
Aku sih masih berharap surat ini nggak Andra kasih ke kamu. Tapi kalau memang kamu sekarang sedang baca surat ini. Emm.. aku cuman ingin bilang, selama tinggal Nay, jadi perempuan yang baik-baik, dan tetap jaga hubungan dengan Andra. Kamu harus tau Andra itu orangnya baik kok walau suka buat kamu kesal.
Jadi.. selamat tinggal sekali lagi Nay...
Maafin aku kalau aku ada salah sama kamu.
Dari sahabat mu,
Alan